Kamis, 30 Agustus 2012

Politik Silaturrahim Lebaran dan Foto Model


          Budaya lebaran tahun ini tidak terasa sudah usai dengan ditandainya kupatan dan kembalinya para pemudik ke tempat tinggal asalnya. Namun ada kenangan yang tersisa yang perlu jadi bahan renungan bersama setelah berbagai kegiatan silaturrohim terlaksana.  Silaturrahim memang bukan hal yang baru di negara kita karena sudah menjadi budaya Indonesia selama bertahun-tahun. Silaturrahim yang sudah lazim adalah silaturahim tahunan saat hari raya Idul Fitri. Yang merantau ramai-ramai pulang kampung untuk bertemu sanak keluarga dan tidak sedikit yang termotivasi untuk unjuk prestasi walaupun perlu biaya yang mahal dan kesabaran karena kemacetan di sepanjang jalan.
Silaturahim bisa menjadi salah satu cara komunikasi yang dianggap sangat efektif untuk segala macam kepentingan. Mulai dari sekedar kangen-kangenan, ngobrol tentang keluarga, pekerjaan, politik kebangsaan, mencari dukungan sampai cari hutangan. Dan tak ada seorangpun yang melarang orang untuk bersilaturahim. Dari silaturahim ini tentunya diharapkan terjadi komunikasi antar elemen masyarakat sesuai dengan latar belakang mereka masing-masing.
 Kita biasanya langsung bertemu secara fisik ‘face to face’ saling berjabat tangan dengan disertai kata ‘maaf’ walaupun sebenarnya tidak mesti punya kesalahan sambil menikmati hidangan ala kadarnya sebagai penghormatan terhadap tamu. Suasana benar-benar cair. Kehadiran masing-masing juga tampak ikhlas, terlepas dari interest personal apapun.
Kalau kita perhatikan di era perkembangan media yang sangat cepat kemajuannya ini, ada model silaturrrohim via ucapan kata-kata dan kalimat  yang ditulis di sebuah sepanduk, baliho dan sejenisnya yang di latar belakangi  gambar ala foto model yang dipasang di sudut-sudut jalan. Adapun isi tulisanya juga bervariasi mulai dari yang lazim ‘Selamat Hari Raya Idul Fitri Mohon Maaf Lahir dan Batin, ada yang berupa ajakan, ucapan terimakasih, sekedar memperkenalkan diri sampei ada yang bernuansa promosi diri’. Adapun dari sisi latar belakang orangnya juga bermacam macam. Ada yang dari tokoh masyarakat, tokoh agama, pengurus asosiasi, teman sekolah, pengurus partai, anggota DPR sampei petinggi pemerintahan. Untuk pengurus partai dan anggota DPR nampaknya kompak  foto bersama. Untuk teman sekolah juga nampak foto rame rame bersama. Tapi untuk petinggi Kota Kediri nampak sendiri sendiri antara Walikota dan Wakil walikota. Banyak masyarakat yang bertanya-tanya tentang fenomena tersebut. Dan sampei detik ini tidak ada yang tahu mengapa foto mereka sendiri-sendiri. Padahal mereka berdua kan ‘two in one’ dalam menyelenggarakan pemerintahan. Mungkin perlu bertanya ke Ebid G.A.D. Tanyakan saja pada rumput yang bergoyang?
      Terlepas dari itu semua sebenarnya apa kehebatan silaturahim sehingga dapat dijadikan politik komunikasi alternatif? Pertama, kalau ada dua orang atau kelompok yang saling bertentangan, bila salah satunya sudah mau bersilaturahim, maka hubungan akan cair. Di masyarakat pun akan muncul kesan bahwa keduanya sudah akur kembali. Lebih-lebih jika di foto wartawan dan di ekspos media masa. Opini publik pun dengan cepat terbentuk dengan berbagai tafsir. Kedua, kehadiran secara fisik ‘face to face’ sampai saat ini belum tertandingi dengan media apapun walaupun sekarang sudah menjadi era SMS,  BB dan Fb yang cepat, murah, dan tepat. Tatapan wajah dan sentuhan kulit secara langsung tidak dapat digantikan dengan yang lain. Ketiga, dengan bertemu langsung, semua informasi yang menyangkut kedua belah pihak yang simpang siur bisa dikonfirmasikan. Hal ini sangat penting agar hal-hal yang masih kabur dapat dijernihkan. Keempat, silaturahim termasuk kegiatan non-protokoler bebas hambatan yang bisa dilakukan oleh siapapun, dimanapun kapanpun dengan materi pembicaraan bebas tak terstruktur. 
Silaturahim merupakan suatu kegiatan yang sangat bagus dan patut dipertahankan sepanjang memang bertujuan sebagai media bermaaf-maafan dan  media komunikasi  untuk membangun persaudaraan demi kedamain hidup bersama baik antar keluarga, sesama anggota masyarakat, maupun antar pemimpin dan rakyatnya. Khusus untuk para petinggi pemerintahan, tokoh agama dan tokoh masyarakat semakin sering bertemu  akan semakin baik sehingga terjadi  komunikasi antar elemen masyarakat  yang berujung pada tercapainya kedamaian di bumi dan dihati. Dari sini diharapkan, apa yang diinginkan oleh masyarakat akan diketahui oleh para petingginya baik  anggota dewannya, walikotanya dan anggota muspida lainnya, kemudian  dilegalkan lewat produk perda-perdanya maupun peraturan walikota serta peraturan lainnya dan  dilakassanakan dengan sungguh sungguh oleh para pejabat birokrasinya mulai dari atas sampei pada tingkat kelurahan, dan sekaligus dikontrol pelaksanaannya demi kesejahteraan masyarakat bersama.
Yang perlu diperhatikan adalah apa yang harus menjadi basis utama politik silaturahim tersebut? Silaturahim dengan berbasis pada ‘keikhlasan’ akan bisa menghasilkan solusi berbagai permasalahan berbasis ’nurani’. Sebaliknya, apabila silaturahim ini berbasis kepentingan (interest) maka akan menghasilkan produk ‘transaksi dagang sapi’. Nurani memang harus dijadikan basis utama politik silaturrohim oleh siapapun, dimanapun dan kapanpun sehingga dapat menjadi ‘ikon’ bangsa Indonesia yang mampu menghasilkan kedamaian di bumi dan di hati. Selamat bersilaturrohim sepanjang masa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar