Budaya lebaran tahun ini tidak terasa sudah usai dengan ditandainya
kupatan dan kembalinya para pemudik ke tempat tinggal asalnya. Namun ada
kenangan yang tersisa yang perlu jadi bahan renungan bersama setelah berbagai
kegiatan silaturrohim terlaksana. Silaturrahim
memang bukan hal yang baru di negara kita karena sudah menjadi budaya Indonesia
selama bertahun-tahun. Silaturrahim yang sudah lazim adalah silaturahim tahunan
saat hari raya Idul Fitri. Yang merantau ramai-ramai pulang kampung untuk
bertemu sanak keluarga dan tidak sedikit yang termotivasi untuk unjuk prestasi
walaupun perlu biaya yang mahal dan kesabaran karena kemacetan di sepanjang
jalan.
Silaturahim bisa menjadi salah satu cara komunikasi yang dianggap
sangat efektif untuk segala macam kepentingan. Mulai dari sekedar
kangen-kangenan, ngobrol tentang keluarga, pekerjaan, politik kebangsaan,
mencari dukungan sampai cari hutangan. Dan tak ada seorangpun yang melarang
orang untuk bersilaturahim. Dari silaturahim ini tentunya diharapkan terjadi
komunikasi antar elemen masyarakat sesuai dengan latar belakang mereka
masing-masing.
Kita biasanya langsung
bertemu secara fisik ‘face to face’ saling berjabat tangan dengan disertai kata
‘maaf’ walaupun sebenarnya tidak mesti punya kesalahan sambil menikmati
hidangan ala kadarnya sebagai penghormatan terhadap tamu. Suasana benar-benar
cair. Kehadiran masing-masing juga tampak ikhlas, terlepas dari interest
personal apapun.
Kalau kita perhatikan di era perkembangan media yang sangat cepat
kemajuannya ini, ada model silaturrrohim via ucapan kata-kata dan kalimat yang ditulis di sebuah sepanduk, baliho dan
sejenisnya yang di latar belakangi
gambar ala foto model yang dipasang di sudut-sudut jalan. Adapun isi tulisanya
juga bervariasi mulai dari yang lazim ‘Selamat Hari Raya Idul Fitri Mohon Maaf
Lahir dan Batin, ada yang berupa ajakan, ucapan terimakasih, sekedar
memperkenalkan diri sampei ada yang bernuansa promosi diri’. Adapun dari sisi
latar belakang orangnya juga bermacam macam. Ada yang dari tokoh masyarakat,
tokoh agama, pengurus asosiasi, teman sekolah, pengurus partai, anggota DPR
sampei petinggi pemerintahan. Untuk pengurus partai dan anggota DPR nampaknya
kompak foto bersama. Untuk teman sekolah
juga nampak foto rame rame bersama. Tapi untuk petinggi Kota Kediri nampak
sendiri sendiri antara Walikota dan Wakil walikota. Banyak masyarakat yang
bertanya-tanya tentang fenomena tersebut. Dan sampei detik ini tidak ada yang
tahu mengapa foto mereka sendiri-sendiri. Padahal mereka berdua kan ‘two in
one’ dalam menyelenggarakan pemerintahan. Mungkin perlu bertanya ke Ebid G.A.D.
Tanyakan saja pada rumput yang bergoyang?
Terlepas dari itu semua sebenarnya apa
kehebatan silaturahim sehingga dapat dijadikan politik komunikasi alternatif?
Pertama, kalau ada dua orang atau kelompok yang saling bertentangan, bila salah
satunya sudah mau bersilaturahim, maka hubungan akan cair. Di masyarakat pun akan muncul
kesan bahwa keduanya sudah akur kembali. Lebih-lebih jika di foto wartawan dan
di ekspos media masa. Opini publik pun dengan cepat terbentuk dengan berbagai
tafsir. Kedua, kehadiran secara fisik ‘face to face’ sampai saat ini belum
tertandingi dengan media apapun walaupun sekarang sudah menjadi era SMS, BB dan Fb yang cepat, murah, dan tepat.
Tatapan wajah dan sentuhan kulit secara langsung tidak dapat digantikan dengan
yang lain. Ketiga, dengan bertemu langsung, semua informasi yang menyangkut
kedua belah pihak yang simpang siur bisa dikonfirmasikan. Hal ini sangat
penting agar hal-hal yang masih kabur dapat dijernihkan. Keempat, silaturahim
termasuk kegiatan non-protokoler bebas hambatan yang bisa dilakukan oleh
siapapun, dimanapun kapanpun dengan materi pembicaraan bebas tak terstruktur.
Silaturahim merupakan suatu kegiatan yang sangat bagus dan patut
dipertahankan sepanjang memang bertujuan sebagai media bermaaf-maafan dan media komunikasi untuk membangun persaudaraan demi kedamain
hidup bersama baik antar keluarga, sesama anggota masyarakat, maupun antar
pemimpin dan rakyatnya. Khusus untuk para petinggi pemerintahan, tokoh agama
dan tokoh masyarakat semakin sering bertemu
akan semakin baik sehingga terjadi
komunikasi antar elemen masyarakat
yang berujung pada tercapainya kedamaian di bumi dan dihati. Dari sini
diharapkan, apa yang diinginkan oleh masyarakat akan diketahui oleh para
petingginya baik anggota dewannya,
walikotanya dan anggota muspida lainnya, kemudian dilegalkan lewat produk perda-perdanya maupun
peraturan walikota serta peraturan lainnya dan
dilakassanakan dengan sungguh sungguh oleh para pejabat birokrasinya
mulai dari atas sampei pada tingkat kelurahan, dan sekaligus dikontrol
pelaksanaannya demi kesejahteraan masyarakat bersama.
Yang perlu diperhatikan adalah apa yang harus menjadi basis utama
politik silaturahim tersebut? Silaturahim dengan berbasis pada ‘keikhlasan’
akan bisa menghasilkan solusi berbagai permasalahan berbasis ’nurani’.
Sebaliknya, apabila silaturahim ini berbasis kepentingan (interest) maka akan menghasilkan
produk ‘transaksi dagang sapi’. Nurani memang harus dijadikan basis utama
politik silaturrohim oleh siapapun, dimanapun dan kapanpun sehingga dapat
menjadi ‘ikon’ bangsa Indonesia yang mampu menghasilkan kedamaian di bumi dan
di hati. Selamat bersilaturrohim sepanjang masa.